Hernia diafraghmatika

 

Hernia Diafragmatika

30 Nov
HERNIA DIAFRAGMATIKA
A. PENDAHULUAN
Hernia adalah penonjolan gelung atau ruas organ atau jaringan melalui lubang abnormal. Diafragmatika adalah sekat yang membatasi rongga dada dan rongga perut.
Pembagian Hernia diafragmatika :
a. Traumatica : hernia akuisita, akibat pukulan, tembakan, tusukan
b. Non-Traumatica
1) Kongenital
a) Hernia Bochdalek atau Pleuroperitoneal
Celah dibentuk pars lumbalis, pars costalis diafragma
b) Hernia Morgagni atau Para sternalis
Celah dibentuk perlekatan diafragma pada costa dan sternum
2) Akuisita
Hernia Hiatus esophagus
Ditemukan pada 1 diantara 2200-5000 kelahiran dan 80-90% terjadi pada sisi tubuh bagian kiri.
B. DEFINISI
Hernia Diafragmatika adalah penonjolan organ perut ke dalam rongga dada melalui suatu lubang pada diafragma. Akibat penonjolan viscera abdomen ke dalam rongga thorax melalui suatu pintu pada diafragma. Terjadi bersamaan dengan pembentukan sistem organ dalam rahim.
C. PENYEBAB
Janin tumbuh di uterus ibu sebelum lahir, berbagai sistem organ berkembang dan matur. Diafragma berkembang antara minggu ke-7 sampai 10 minggu kehamilan. Esofagus (saluran yang menghubungkan tenggorokan ke abdomen), abdomen, dan usus juga berkembang pada minggu itu.
Pada hernia tipe Bockdalek, diafragma berkembang secara tidak wajar atau usus mungkin terperangkap di rongga dada pada saat diafragma berkembang. Pada hernia tipe Morgagni, otot yang seharusnya berkembang di tengah diafragma tidak berkembang secara wajar.
Pada kedua kasus di atas perkembangan diafragma dan saluran pencernaan tidak terjadi secara normal. Hernia difragmatika terjadi karena berbagai faktor, yang berarti “banyak faktor” baik faktor genetik maupun lingkungan.
D. PATOFISIOLOGIS
Disebabkan oleh gangguan pembentukan diafragma. Diafragma dibentuk dari 3 unsur yaitu membrane pleuroperitonei, septum transversum dan pertumbuhan dari tepi yang berasal dari otot-otot dinding dada. Gangguan pembentukan itu dapat berupa kegagalan pembentukan seperti diafragma, gangguan fusi ketiga unsure dan gangguan pembentukan seperti pembentukan otot. Pada gangguan pembentukan dan fusi akan terjadi lubang hernia, sedangkan pada gangguan pembentukan otot akan menyebabkan diafragma tipis dan menimbulkan eventerasi.
Para ahli belum seluruhnya mengetahui faktor yang berperan dari penyebab hernia diafragmatika, antara faktor lingkungan dan gen yang diturunkan orang tua.
E. TANDA DAN GEJALA
Gejalanya berupa:
a. Gangguan pernafasan yang berat
b. Sianosis (warna kulit kebiruan akibat kekurangan oksigen)
c. Takipneu (laju pernafasan yang cepat)
d. Bentuk dinding dada kiri dan kanan tidak sama (asimetris)
e. Takikardia (denyut jantung yang cepat).
F. KOMPLIKASI
Lambung, usus dan bahkan hati dan limpa menonjol melalui hernia. Jika hernianya besar, biasanya paru-paru pada sisi hernia tidak berkembang secara sempurna.
Setelah lahir, bayi akan menangis dan bernafas sehingga usus segera terisi oleh udara. Terbentuk massa yang mendorong jantung sehingga menekan paru-paru dan terjadilah sindroma gawat pernafasan.
Sedangkan komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita hernia diafragmatika tipe Bockdalek antara lain 20 % mengalami kerusakan kongenital paru-paru dan 5 – 16 % mengalami kelainan kromosom.
G. PENATALAKSANAAN
a. Pemeriksaan fisik
1) Pada hernia diafragmatika dada tampak menonjol, tetapi gerakan nafas tidak nyata
2) Perut kempis dan menunjukkan gambaran scafoid
3) Pada hernia diafragmatika pulsasi apeks jantung bergeser sehingga kadang-kadang terletak di hemitoraks kanan
4) Bila anak didudukkan dan diberi oksigen, maka sianosis akan berkurang
5) Gerakan dada pada saat bernafas tidak simetris
6) Tidak terdengar suara pernafasan pada sisi hernia
7) Bising usus terdengar di dada
8) Perut terasa kosong
b. Pemeriksaan penunjang
1) Foto thoraks akan memperlihatkan adanya bayangan usus di daerah toraks
2) Kadang-kadang diperlukan fluoroskopi untuk membedakan antara paralisis diafragmatika dengan eventerasi (usus menonjol ke depan dari dalam abdomen)
c. Perencanaan
Apabila pada anak dijumpai adanya kelainan-kelainan yang bias mengarah pada hernia difragmatika, maka anak perlu segera dibawa ke dokter atau rumah sakit agar segera bias ditangani dan mendapatkan diagnosis yang tepat.
Tindakan yang bisa dilakukan sesuai dengan masalah dan keluhan-keluhan yang dirasakan adalah :
1) Anak ditidurkan dalam posisi duduk dan dipasang pipa nasogastrik yang dengan teratur dihisap
2) Diberikan antibiotika profilaksis dan selanjutnya anak dipersiapkan untuk operasi. Organ perut harus dikembalikan ke rongga perut dan lubang pada difragma diperbaiki.
Indikasi Operasi
a. Esophagitis – refluks gastroesofageal
b. Abnormal PH monitoring pada periksaan monometrik
c. Kelainan pada foto upper GI
d. Adanya hernia paraesofageal dengan gejala mekanis
e. Esophageal stricture
f. Tindakan operatif pada Barrett’s esophagus
g. Kegagalan terapi medikal yang adekuat
h. Ruptur diafragma pada hernia traumatika
i. Insuffisiensi kardiorespirator progress
Kontra indikasi operasi (tidak ada)
Ilmu Kesehatan Anak 1 oleh Staf Pengajar IKA FK UI 1985 oleh bagian IKA Fakultas Kedokteran UI Jakarta
http://www.pediatricsurgerymd.org
http://www.kalbe.co.id
http://medicastore.com/penyakit/902/Hernia_Diafragmatika.html
http://bedahumum.wordpress.com/2009/01/21/repair-hernia-diafragmatika/

Omfalokel


DEFINISI
Omfalokel adalah penonjolan dari usus atau isi perut lainnya melalui akar pusar yang hanya dilapisi oleh peritoneum (selaput perut) dan tidak dilapisi oleh kulit.

Omfalokel terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran.
Usus terlihat dari luar melalui selaput peritoneum yang tipis dan transparan (tembus pandang).

Omfalokel

PENYEBAB
Penyebabnya tidak diketahui.
Pada 25-40% bayi yang menderita omfalokel, kelainan ini disertai oleh kelainan bawaan lainnya, seperti kelainan kromosom, hernia diafragmatika dan kelainan jantung.

GEJALA
Banyaknya usus dan organ perut lainnya yang menonjol pada omfalokel bervariasi, tergantung kepada besarnya lubang di pusar.
Jika lubangnya kecil, mungkin hanya usus yang menonjol; tetapi jika lubangnya besar, hati juga bisa menonjol melalui lubang tersebut.

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, dimana isi perut terlihat dari luar melalui selaput peritoneum.

PENGOBATAN
Agar tidak terjadi cedera pada usus dan infeksi perut, segera dilakukan pembedahan untuk menutup omfalokel.

Obstruksi billiaris

A.   Gambaran Umum Obstruksi Bliaris
            Antara hati dan usus halus terdapat saluran yang berfungsi sebagai tempat mengalirnya empedu yang di produksi hati menuju usus. Jika saluran ini tersumbat, maka hal ini disebut sebagai obstruksi biliaris (Sarjadi, 2000).  Penyebab obstruksi biliaris adalah tersumbatnya saluran empedu sehingga empedu tidak dapat mengalir kedalam usus untuk dikeluarkan ( sebagai strekobilin ) didalam feses (Ngastiyah, 2005).
Obstruksi duktus biliaris ini sering ditemukan, kemungkinan desebabkan:
1.    Batu empedu
2.    Karsinoma duktus biliaris
3.    Karsinoma kaput panksreas
4.    Radang duktus biliaris komunis yang menyebabkan striktura
5.    Ligasi yang tidak sengaja pada duktus biliaris komunis (Sarjadi, 2000)
            Penderita tampak ikterik, akan sangat berat apabila obstruksi tidak dapat diatasi, bilirubin serum yang terkonjugasi meningkat, feses pucat dan urine berwarna gelap (pekat). Biasanya terdapat juga peningkatan kadar alkalin fosfate serum terutama transaminase. (Sarjadi,2000)
       Apabila terjadi obstruksi biliaris persisten, empedu yang terbendung dapat mengalami infeksi, menimbulkan kolangitis dan abses hepar. Kekurangan empedu dalam usus halus mempengaruhi absorpsi lemak dan zat yang terlarut dalam lemak (misalnya beberapa jenis vitamin) (Sarjadi,2000).
a.    Penyakit Duktus Biliaris Intrahepatik
            Gambaran yang mirip dengan obstruksi biliaris dapat disebabkan oleh penyakit duktus biliaris intrahepatik, seperti :
1)     Atresia Biliaris
Merupakan suatu kondisi kelainan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak berkembang secara normal.
2).   Sirosis biliaris primer
Secara histologis kerusakan duktus tampak dikelilingi infiltrasi limfosit yang padat dan sering timbul granuloma.
3).   Kolangitis sklerosing
Merupakan radang kronis yang mengenai duktus biliaris intrahepatik.
4).   Reaksi obat kolestatik
       Obat-obatan long-acting lebih menyebabkan kerusakan hepar dibandingkan dengan obat-obatan short-acting (Sarjadi, 2000).
Gambar 2.1 sistem biliaris
b.    Obstruksi Biliaris Akut
           Obstruksi akut duktus biliaris utama pada umumnya disebabkan oleh batu empedu. Secara klinis akan menimbulkan nyeri kolik dan ikterus. Apabila kemudian sering terjadi infeksi pada traktus biliaris, duktus akan meradang (kolangitis) dan timbul demam. Kolangitis dapat belanjut menjadi abses hepar (Sarjadi, 2000).
           Obstuksi biliaris yang berulang menimbulkan fibrosis traktus portal dan regenerasi noduler sel hepar. Keadaan ini disebut sirosis biliaris sekunder (Sarjadi, 2000).

B.   Patofisiologi
            Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding misalnya ada tumor, atau penyempitan karena trauma(iatrogenik). Batu empedu dan cacing askariasis sering dijumpai sebagai penyebab sumbatan didalam lumen saluran. Pankreatitis, tumor caput pankreas, tumor kandung empedu atau anak sebar tumor ganas di daerah ligamentum hepato duodenale dapat menekan saluran empedu dari luar menimbulkan gangguan aliran empedu. (Reskoprodjo, 1995)
            Beberapa keadaan yang jarang dijumpai sebagai penyebab sumbatan antara lain kista koledokus, abses amuba pada lokasi tertentu, di ventrikel duodenum dan striktur sfingter papila vater. (Reskoprojo,1995)
            Kurangnya bilirubin dalam saluran usus bertanggung jawab atas tinja pucat biasanya dikaitkan dengan obstruksi empedu. Penyebab gatal (pruritus) yang berhubungan dengan obstruksi empedu tidak jelas. Sebagian percaya mungkin berhubungan dengan akumulasi asam empedu di kulit. Lain menyarankan mungkin berkaitan dengan pelepasan opioid endogen (Judarwanto,2009).
            Penyebab obstruksi biliaris adalah tersumbatnya saluran empedu sehingga empedu tidak dapat mengalir kedalam usus untuk dikeluarkan ( sebagai strekobilin ) didalam feses. (Ngastiyah, 2005)
Kemungkinan penyebab saluran empedu tersumbat meliputi:
1.    Kista dari saluran empedu
2.    Lymp node Diperbesar dalam porta hepatis
3.     Batu empedu
4.    Peradangan dari saluran-saluran empedu
5.    Trauma cedera termasuk dari operasi kandung empedu
6.    Tumor dari saluran-saluran empedu atau pankreas
7.    tumor yang telah menyebar ke sistem empedu (Zieve David,2009)

C.   Gejala
1.    Gambaran klinis gejala mulai terlihat pada akhir minggu pertama yakni bayi ikterus
2.    Kemudian feses bayi berwarna putih agak keabu-abuan dan liat seperti dempul
3.    Urine menjadi lebih tua karena mengandung urobilinogen
4.    Perut sakit di sisi kanan atas    
5.    Demam
6.    Mual dan muntah (Zieve David,2009)


D.   Diagnosis
       Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik, adanya tanda ikterus atau kuning pada kulit, pada mata dan di bawah lidah. Pada pemeriksaan perut, hati teraba membesar kadang juga disertai limfa yang membesar.
Pemeriksaan Laboratorium dan Imaging
1.    Pemeriksaan darah (terdapat peningkatan kadar bilirubin)
Pemeriksaan darah dilakukan pemeriksaan fungsi hati khususnya terdapat peningkatan kadar bilirubin direk. Disamping itu dilakukan pemeriksaan albumin, SGOT, SGPT, alkali fosfatase, GGT. Dan faktor pembekuan darah.
2.    Rontgen perut (tampak hati membesar)
3.    Kolangiogram atau kolangiografi intraoperatif
Yaitu dengan memasukkan cairan tertentu ke jaringan empedu untuk mengetahui kondisi saluran empedu. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum dilakukan operasi Kasai.
4.    Breath test
Dilakukan untuk mengukur kemampuan hati dalam memetabolisir sejumlah obat.  Obat-obat tersebut ditandai dengan perunut radioaktif, diberikan per-oral (ditelan) maupun intravena (melalui pembuluh darah).
Banyaknya radioaktivitas dalam pernafasan penderita menunjukkan banyaknya obat yang dimetabolisir oleh hati.

5.    USG
Menggunakan gelombang suara untuk menggambarkan hati, kandung empedu dan saluran empedu. Pemeriksaan ini bagus untuk mengetahui kelainan struktural, seperti tumor. USG merupakan pemeriksaan paling murah, paling aman dan paling peka untuk memberikan gambaran dari kandung empedu dan saluran empedu. Dengan USG, dokter dengan mudah bisa mengetahui adanya batu empedu di dalam kandung empedu. USG dengan mudah membedakan sakit kuning (jaundice) yang disebabkan oleh penyumbatan saluran empedu dari sakit kuning yang disebabkan oleh kelainan fungsi sel hati. USG Doppler bisa digunakan untuk menunjukkan aliran darah dalam pembuluh darah di hati. USG juga bisa digunakan sebagai penuntun pada saat memasukkan jarum untuk mendapatkan contoh jaringan biopsi.
6.    Imaging radionuklida (radioisotop)
Menggunakan bahan yang mengandung perunut radioaktif, yang disuntikkan ke dalam tubuh dan diikat oleh organ tertentu. Radioaktivitas dilihat dengan kamera sinar gamma yang dipasangkan pada sebuah komputer.
7.    Skening hati
Merupakan penggambaran radionuklida yang menggunakan substansi radioaktif, yang diikat oleh sel-sel hati.
8.    Koleskintigrafi
Menggunakan zat radioaktif yang akan dibuang oleh hati ke dalam saluran empedu. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui peradangan akut dari kandung empedu (kolesistitis).
9.    CT scan
Bisa memberikan gambaran hati yang sempurna dan terutama digunakan untuk mencari tumor. Pemeriksaan ini bisa menemukan kelainan yang difus (tersebar), seperti perlemakan hati (fatty liver) dan jaringan hati yang menebal secara abnormal (hemokromatosis). Tetapi karena menggunakan sinar X dan biayanya mahal, pemeriksaan ini tidak banyak digunakan.
10.  MRI
Memberikan gambaran yang sempurna, mirip dengan CT scan. Pemeriksaan ini lebih mahal dari CT scan, membutuhkan waktu lebih lama dan penderita harus berbaring dalam ruangan yang sempit, menyebabkan beberapa penderita mengalami klaustrofobia (takut akan tempat sempit).
11.  Kolangiopankreatografi endoskopik retrograd
Merupakan suatu pemeriksaan dimana suatu endoskopi dimasukkan ke dalam mulut, melewati lambung dan usus dua belas jari, menuju ke saluran empedu. Suatu zat radiopak kemudian disuntikkan ke dalam saluran empedu dan diambil foto rontgen dari saluran empedu. Pemeriksaan ini menyebabkan peradangan pada pankreas (pankreatitis) pada 3-5% penderita.
12.  Kolangiografi transhepatik perkutaneus
Menggunakan jarum panjang yang dimasukkan melalui kulit ke dalam hati, kemudian disuntikkan zat radiopak ke dalam salah satu dari saluran empedu. Bisa digunakan USG untuk menuntun masuknya jarum. Rontgen secara jelas menunjukkan saluran empedu, terutama penyumbatan di dalam hati.
13.  Kolangiografi operatif
Menggunakan zat radiopak yang bisa dilihat pada rontgen. Selama suatu pembedahan, zat tersebut disuntikkan secara langsung kedalam saluran empedu. Foto rontgen akan menunjukkan gambaran yang jelas dari saluran empedu.
14.  Foto rontgen sederhana
sering bisa menunjukkan suatu batu empedu yang berkapur.
15.   Pemeriksaan Biopsi hati
Untuk melihat struktu organ hati apakah terdapat sirosis hati atau kompilkasi lainnya. Laparotomi biasanya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan.
16.  Laparotomi (biasanya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan). (Indonesia, USA & internasional berkumpul, 2000)

E.     Pencegahan
            Dapat mengetahui setiap faktor risiko yang dimiliki, sehingga bisa mendapatkan prompt diagnosis dan pengobatan jika saluran empedu tersumbat. Penyumbatan itu sendiri tidak dapat dicegah. (Attasaranya S, Fogel EL,2008).
            Dalam hal ini bidan dapat memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua untuk mengantisipasi setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris (penyumbatan saluran empedu), dengan keadaan fisik yang menunjukan  anak tampak ikterik, feses pucat dan urine berwarna gelap (pekat). (Sarjadi,2000)
F.    Penatalaksanaan
            Pada dasarnya penatalaksanaan pasien dengan obstruksi biliaris bertujuan untuk menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalihkan aliran empedu. Tindakan tersebut dapat berupa tindakan pembedahan misalnya pengangkatan batu atau reseksi tumor. Dapat pula upaya untuk menghilangkan sumbatan dengan tindakan endoskopi baik melalui papila vater atau dengan laparoskopi. (Reksoprodjo, 1995)
Gambar 2.2 saluran empedu empedu memegang stent terbuka, memulihkan aliran empedu

            Bila tindakan pembedahan tidak mungkin dilakukan untuk menghilangkan penyebab sumbatan, dilakukan tindakan drenase yang bertujuan agar empedu yang terhambat dapat dialirkan. Drenase dapat dilakukan keluar tubuh misalnya dengan pemasangan pipa naso bilier, pipa T pada duktus koledokus, atau kolesistostomi. Drenase interna dapat dilakukan dengan membuat pintasan bilio digestif. Drenase interna ini dapat berupa kelesisto-jejunostomi, koledoko-duodenostomi, koledoko-jejunustomi atau hepatiko-jejunustomi. (Reksoprodjo, 1995)
1.    Penatalaksanaan Keperawatan
Pertahankan kesehatan bayi (pemberian makan yang cukup gizi sesuai dengan kebutuhan, serta menghindarkan kontak infeksi). Berikan penjelasan kepada orang tua bahwa keadaan kuning pada bayinya berbeda dengan bayi lain yang kuning karena hiperbilirubinemia biasa yang dapat hanya dengan terapi sinar atau terapi lain. Pada bayi ini perlu tindakan bedah karena terdapatnya penyumbatan ( Ngastiyah, 2005).
2.    Penatalaksanaan Medisnya ialah dengan operasi ( Ngastiyah, 2005).

Hirschprung


Definition :
Penyakit Hirschsprung (Megakolon Kongenital) adalah suatu kelainan kongenital yang ditandai dengan penyumbatan pada usus besar yang terjadi akibat pergerakan usus yang tidak adekuat karena sebagian dari usus besar tidak memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya. Sehingga menyebabkan terakumulasinya feses dan dilatasi kolon yang masif.
Cause :
Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna bisa berjalan di sepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan peristaltik). Kontraksi otot-otot tersebut dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang terletak dibawah lapisan otot. Pada penyakit Hirschsprung, ganglion ini tidak ada, biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltik tidak dapat mendorong bahan-bahan yang dicerna dan terjadi penyumbatan. Penyakit Hirschsprung 5 kali lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki. Penyakit ini kadang disertai dengan kelainan bawaan lainnya, misalnya sindroma Down.
Sign & Symptoms :
Pada bayi yang baru lahir :
  • segera setelah lahir, bayi tidak dapat mengeluarkan mekonium (tinja pertama pada bayi baru lahir)
  • tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
  • perut menggembung
  • muntah
  • diare encer (pada bayi baru lahir)
  • berat badan tidak bertambah, mungkin terjadi retardasi pertumbuhan
  • malabsorbsi.
Pada anak :
  • Failure to thrive (gagal tumbuh)
  • Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
  • Rektum yang kosong melalui perbaan jari tangan
  • Kolon yang teraba
  • Hipoalbuminemia
Kasus yang lebih ringan mungkin baru akan terdiagnosis di kemudian hari.
Pada anak yang lebih besar, gejalanya adalah sembelit menahun, perut menggembung dan gangguan pertumbuhan.

Diagnose :
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan colok dubur (memasukkan jari tangan ke dalam anus) menunjukkan adanya pengenduran pada otot rektum.
Treatment :
Pengobatan dengan diberikan obat-obat yang bersifat simptomatis atau definitif. Pada keadaan gawat darurat, mungkin juga diperlukan koreksi cairan dan keseimbangan elektrolit.
Untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penyumbatan usus, segera dilakukan kolostomi sementara. Kolostomi adalah pembuatan lubang pada dinding perut yang disambungkan dengan ujung usus besar. Pengangkatan bagian usus yang terkena dan penyambungan kembali usus besar biasanya dilakukan pada saat anak berusia 6 bulan atau lebih. Jika terjadi perforasi (perlubangan usus) atau enterokolitis, diberikan antibiotik



Join Us, FREE!






  Atresia rekti dan anus

Definisi
Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.
Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar (Walley,1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi, 2001). Sumber lain menyebutkan atresia rekti dan anus adalah kondisi dimana rectal terjadi gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan.
Atresia rekti dan anus adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.
Etiologi
Etiologi secara pasti atresia rekti dan anus belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaananus umumnya tidak ada kelainan rectum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut peneletian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia rekti dan anus. Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan kromosom atau kelainan congenital lain juga beresiko untuk menderita atresia rekti dan anus. Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya.

Faktor predisposisi
Atresia rekti dan anus dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir seperti :
  1. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal, jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe).
  2. Kelainan sistem pencernaan.
  3. Kelainan sistem pekemihan.
  4. Kelainan tulang belakang.
Klasifikasi
Secara fungsional, pasien atresia rekti dan anus dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :
  1. Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai melalui saluran fistula eksterna. Kelompok ini terutma melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
  2. Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar tinja. Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
1) Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
2) Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3) Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih daai1 cm.

Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia rekti dan anus dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum, perineum datar dan fistel tidak ada.
Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak ada.
Golongan II pada laki – laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal.
Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit.

Patofisiologi
Anus dan rectum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitoury dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sacral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan fecal tidak dapat dikeluarkan sehungga intestinal mengalami obstrksi.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia rekti dan anus adalah kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan fistula eksternal pada perineum (Suriadi,2001). Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol (Adele,1996)
Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah satu manifestasi klinis atresia rekti dan anus. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.

Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.

Penatalaksaan
Penatalaksanaan Medis
  • Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut diseksi posterosagital atau plastik anorektal posterosagital.
  • Colostomi sementara



Atresia esophagus

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Atresia esofagus merupakan kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak menyambungnya esofagus bagian proksimal dengan esofagus bagian distal. Atresia esofagus dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus, yaitu kelainan kongenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esofagus dengan trakea.
Atresia Esofagus meliputi kelompok kelainan kongenital terdiri dari gangguan kontuinitas esofagus dengan atau tanpa hubungan dengan trakhea. Pada 86%  kasus terdapat fistula trakhea oesophageal di distal, pada 7% kasus tanpa fistula Sementara pada 4% kasus terdapat fistula tracheooesophageal tanpa atresia, terjadi 1 dari 2500 kelahiran hidup. Bayi dengan Atresia Esofagus tidak mampu untuk menelan saliva dan ditandai sengan jumlah saliva yang sangat banyak dan membutuhkan suction berulangkali.
Kemungkinan atresia semakin meningkat dengan ditemukannya polihidramnion. Selang nasogastrik masih bisa  dilewatkan pada saat kelahiran semua bayi baru lahir dengan ibu polihidramnion sebagaimana juga bayi dengan mukus berlebihan, segara setelah kelahiran untuk membuktikan atau menyangkal diagnosa. Pada atresia esofagus selang tersebut tidak akan lewat lebih dari 10 cm dari mulut  (konfirmasi dengan Rongent dada dan perut).
Angka keselamatan berhubungan langsung terutama dengan berat badan lahir dan kelainan jantung, angka keselamatan bisa mendekati 100%, sementara jika ditemukan adanyan salah satu faktor resiko mengurangi angka keselamatan hingga 80%  dan bisa hingga 30-50 % jika  ada dua faktor resiko.
Atresia esophagus merupakan kelainan kongenital yang cukup sering dengan insidensi rata-rata sekitar 1 setiap 2500 hingga 3000 kelahiran hidup. Insidensi atresia esophagus di Amerika Serikat 1 kasus setiap 3000 kelahiran hidup. Di dunia, insidensi bervariasi dari 0,4-3,6 per 10.000 kelahiran hidup. Insidensi tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 1 kasus dalam 2500 kelahiran hidup.
Masalah pada atresia esophagus adalah ketidakmampuan untuk menelan, makan secara normal, bahaya aspirasi termasuk karena saliva sendiri dan sekresi dari lambung.
1.2 Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan di angkat pada makalah ini adalah apa itu atresia esofagus dan bagaimana asuhan keperawatannya.
1.3 Tujuan
  1. Tujuan umum
Memahami apa itu atresia esofagus dan mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan atresia esofagus.
  1. Tujuan khusus
1)      Mengetahui definisi atresia esofagus
2)      Mengetahui etiologi atresia esofagus
3)      Mengetahui klasifikasi atresia esofagus
4)      Mengetahui manifestasi klinik dari atresia esofagus
5)      Mengetahui komplikasi dari operasi perbaikan pada atresia esofagus
6)      Memahami asuhan keperawatan pada atresia esofagus.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Athresia Esophagus adalah perkembangan embrionik abnormal esophagus yang menghasilkan pembentukan suatu kantong (blind pouch), atau lumen berkurang tidak memadai yang mecegah perjalanan makanan / sekresi dari faring ke perut.
Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya lubang atau muara (buntu), pada esofagus (+). Pada sebagian besar kasus atresia esofagus ujung esofagus buntu, sedangkan pada ¼ -1/3 kasus lainnya esophagus bagian bawah berhubungan dengan trakea setinggi karina (disebut sebagai atresia                         esophagus dengan fistula). Kelainan lumen esophagus ini biasanya disertai dengan fistula trakeoesofagus. Atresia esofagus sering disertai kelainan bawaan lain, seperti kelainan jantung, kelainan gastrointestinal (atresia duodeni atresiasani), kelainan tulang (hemivertebrata).
Atresia Esofagus termasuk kelompok  kelainan kongenital terdiri dari gangguan kontuinitas esofagus dengan atau tanpa hubungan persisten dengan trachea.
2.2 Epidemiologi
Atresia esofagus pertama kali dikemukakan oleh Hirscprung seorang ahli anak dari Copenhagen pada abad 17 tepatnya pada tahun 1862 dengan adanya lebih kurang 14 kasus atresia esofagus, kelainan ini sudah di duga sebagai suatu malformasi dari traktus gastrointestinal.
Tahun 1941 seorang ahli bedah Cameron Haight dari Michigan telah berhasil melakukan operasi pada atresia esofagus dan sejak itu pulalah bahwa Atresia Esofagus sudah termasuk kelainan kongenital yang bisa diperbaiki.
Di Amerika Utara insiden dari Atresia Esofagus berkisar 1:3000-4500 dari kelahiran hidup, angka ini makin lama makin menurun dengan sebab yang belum diketahui. Secara Internasional angka kejadian paling tinggi terdapat di Finlandia yaitu 1:2500 kelahiran hidup. Atresia Esofagus 2-3 kali  lebih sering pada janin yang  kembar.
2.3 Patofisiologi
Janin dengan atresia esofagus tidak dapat menelan cairan amnion dengan efektif. Pada janin dengan atresia esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan mengalir menuju trakea, ke fistula kemudian menuju usus.
Neonatus dengan atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan banyak air liur. Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau liur. Apabila terdapat TEF distal, paru-paru dapat terpapar asam lambung. Udara dari trakea juga dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis, atau menerima ventilasi. Hal ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut yang sering kali mematikan. Trakea juga dipengaruh  oleh gangguan embriologenesis pada atresia esofagus. Membran trakea seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C seperti biasa. Perubahan ini menyebabkan kelemahan sekunder pada stuktur anteroposterior trakea atau trakeomalacia. Kelemahan ini akan menyebabkan gejala batuk kering dan dapat terjadi kolaps parsial pada eksirasi penuh. Sekret sulit untuk dibersihkan dan dapat menjurus ke pneumonia berulang. Trakea juga dapat kolaps secara parsial ketika makan, setelah manipulasi, atau ketika terjadi refluks gastroesofagus; yang dapat menjurus ke kegagalan nafas; hipoksia, bahkan apnea.
2.4 Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan terjadinya kelainan Atresia Esofagus, hanya dilaporkan angka rekuren sekitar 2 % jika salah satu dari saudara kandung yang terkena. Atresia Esofagus lebih berhubungan dengan sindroma trisomi 21,13 dan 18  dengan dugaan penyebab genetik.
Namun saat ini, teori tentang tentang terjadinya atresia esofagus menurut sebagian besar ahli  tidak lagi berhubungan dengan kelainan genetik Perdebatan tetang proses embriopatologi masih terus berlanjut, dan hanya sedikit yang diketahui.
2.5 Klasifikasi
  1. Atresia Esofagus dengan fistula trakheooesophageal distal ( 86% Vogt 111.grossC) Merupakan gambaran yang paling sering pada proksimal esofagus, terjadi dilatasi dan penebalan dinding otot  berujung  pada mediastinum superior setinggi vetebra thoracal III/IV. Esofagus distal (fistel), yang mana lebih tipis dan sempit, memasuki dinding  posterior trakea setinggi carina atau 1-2 cm diatasnya. Jarak antara esofagus proksimal yang buntu dan fistula trakheooesofageal distal bervariasi mulai dari bagian yang overlap hingga yang berjarak jauh .
  1. Esofagus distal dan proksimal benar-benar  berakhir tanpa hubungan dengan Esofagus terisolasi tanpa fistula ( 7%, Vogg II, Gross A)
segmen esofagus proksimal, dilatasi dan dinding menebal dan biasanya berakhir setinggi mediastinum posterior sekitar vetebra thorakalis II. Esofagus distal pendek dan berakhir pada jarak yang berbeda diatas diagframa.
  1. Fistula trakheoesofagus tanpa atresia (4%,Groos E)
Terdapat hubungan seperti fistula antara esofagus yang secara anatomi cukup intak dengan trakhea. Traktus yang seperti fistula ini bisa sangat tipis/sempit dengan diameter 3-5 mm  dan umumnya berlokasi pada daerah servikal paling bawah. Biasanya single tapi pernah ditemukan dua bahkan tiga fistula.
  1. Atresia erofagus dengan fistula trakeo esofagus proksimal (2%. Vogt III & Gross B).
Gambaran kelainan yang jarang ditemukan namun perlu dibedakan dari jenis terisolasi. Fistula bukan pada ujung distal esofagus  tapi berlokasi 1-2 cm diatas ujung dinding depan esofagus.
  1. Atresia esofagus dengan fistula trakheo esofagus distal dan proksimal ( < 1% Vogt IIIa, Gross D).
Pada kebanyakan bayi, kelainan ini sering terlewati (misdiagnosa) dan di terapi sebagai atresia proksimal dan fistula distal. Sebagai akibatnya infeksi saluran pernapasan berulang, pemeriksaan yang dilakukan memperlihatkan suatu fistula dapat dilakukan dan diperbaiki keseluruhan.
2.6 Gambaran Klinis
Ada beberapa keadaan yang merupakan gejala dan tanda atresia esofagus, antara lain:
  • Mulut berbuih (gelembung udara dari hidung dan mulut) dan liur selalu meleleh dari mulut bayi
  • Sianosis
  • Batuk dan sesak napas
  • Gejala pneumonia akibat regurgitasi air ludah dari esofagus yang buntu dan regurgitasi cairan lambung melalui fistel ke jalan napas
  • Perut kembung atau membuncit, karena udara melalui fistel masuk kedalam lambung dan usus
  • Oliguria, karena tidak ada cairan yang masuk
  • Biasanya juga disertai dengan kelainan bawaan yang lain, seperti kelainan jantung, atresia rectum atau anus.
2.7 Diagnosis
Diagnosa dari atresia esofagus / fistula trakheoesofagus bisa ditegakkan sebelum bayi lahir. Salah satu tanda awal dari atresia esofagus diketahui dari pemeriksaan USG prenatal yaitu polihidramnion, dimana terdapat jumlah cairan amnion yang sangat banyak. Tanda ini bukanlah diagnosa pasti tetapi jika ditemukan  harus dipikirkan kemungkinan atresia esofagus.
Diagnosa Atresia Esofagus dicurigai pada masa prenatal dengan penemuan gelembung perut (bubble stomach) yang kecil atau tidak ada pada USG setelah kehamilan 18 minggu. Secara keseluruhan sensifitas dari USG sekitar 42 %. Polihidraminon sendiri merupakan indikasi yang lemah dari Atresia Esofagus (insiden 1%). Metoda yang tersedia untung meningkatkan angka  diagnostik prenatal termasuk pemeriksaan ultrasound pada leher janin untuk menggambarkan “ujung buntu” kantong atas dan menilai proses menelan janin dari MRI
Bayi baru lahir dengan ibu polihidramnion seharusnya memperlihatkan selang nasogastris yang dapat lewat segera setelah kelahiran untuk menyingkirkan atresia esofagus. Bayi dengan Atresia Esofagus tidak mampu menelan saliva dan ditandai dengan saliva yang banyak, dan memerlukan suction berulang. Pada fase ini tentu sebelumnya makan  untuk pertamakali, kateter bore yang kaku harus dapat melewati mulut hingga esofagus. Pada Atresia Esofagus, kateter tidak bisa lewat melebihi 9-10 cm dari alveolar paling bawah. Rongent dada dan abdomen memperlihatkan ujung kateter tertahan. Disuperior mediatinum (T2-4), sementara gas pada perut & usus menunjukkan adanya fistula trakheoesofagus distal. Tidak adanya gas gastro intestinal menunjukkan atresia esofagus yang terisolasi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan berikut:
  • Memasukkan selang nasogastrik
  • Rontgen esofagus menunjukkan adanya kantong udara dan adanya udara di lambung serta usus.
2.8 Penatalaksanaan
Atresia merupakan kasus gawat darurat. Prabedah, penderita seharusnya ditengkurapkan untuk mengurangi kemungkinan isi lambung masuk ke paru-paru. Kantong esofagus harus secara teratur dikosongkan dengan pompa untuk mencegah aspirasi sekret. Perhatian yang cermat harus diberikan terhadap pengendalian suhu, fungsi respirasi, dan pengelolaan anomali penyerta.
  1. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan dilakukan dengan operasi.
  1. Penatalaksanaan Keperawatan
Sebelum dilakukan operasi, bayi diletakkan setengah duduk untuk mencegah terjadinya regurgitasi cairan lambung kedalam paru. Cairan lambung harus sering diisap untuk mencegah aspirasi. Untuk mencegah terjadinya hipotermia, bayi hendaknya dirawat dalam incubator agar mendapatkan lingkungan yang cukup hangat. Posisinya sering di ubah-ubah, pengisapan lender harus sering dilakukan. Bayi hendaknya dirangsang untuk menangis agar paru berkembang.
Pendekatan Post Operasi
Segera setelah operasi pasien dirawat di NICU dengan perawatan sebagai berikut
  • Monitor pernafasan ,suhu tubuh, fungsi jantung dan ginjal
  • Oksigen perlu diberikan dan ventilator pernafasan dapat diberi jika dibutuhkan.
  • Analgetik  diberi jika dibutuhkan
  • Pemeriksaan darah dan urin dilakukan guna mengevaluasi keadaan janin secara keseluruhan
  • Pemeriksaan scaning dilakukan untuk mengevalausi fungsi esofagus
  • Bayi diberikan makanan melalui tube yang terpasang lansung ke lambung (gastrostomi) atau cukup dengan pemberian melalui intravena sampai bayi sudah bisa menelan makanan sendiri.
  • Sekret dihisap melalui tenggorokan dengan slang nasogastrik.
Perawatan di rumah sakit lebih kurang 2 minggu atau lebih, tergantung pada terjadinya komplikasi yang bisa timbul pada kondisi ini. Pemeriksaan esofagografi dilakukan pada bulan kedua, ke enam, setahun setelah operasi untuk monitor fungsi esofagus.
2.9 Komplikasi
Komplikasi-komplikasi yang bisa timbul setelah operasi perbaikan pada atresia esofagus dan fistula atresia esophagus adalah sebagai berikut :
1.       Dismotilitas esophagus.
Dismotilitas terjadi karena kelemahan otot dingin esophagus. Berbagai tingkat dismotilitas bisa terjadi setelah operasi ini. Komplikasi ini terlihat saat bayi sudah mulai makan dan minum.
2.       Gastroesofagus refluk.
Kira-kira 50 % bayi yang menjalani operasi ini kana mengalami gastroesofagus refluk pada saat kanak-kanak atau dewasa, dimana asam lambung naik atau refluk ke esophagus. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan obat (medical) atau pembedahan.
3.       Trakeo esogfagus fistula berulang.
Pembedahan ulang adalah terapi untuk keadaan seperti ini.
4.       Disfagia atau kesulitan menelan.
Disfagia adalah tertahannya makanan pada tempat esophagus yang diperbaiki. Keadaan ini dapat diatasi dengan menelan air untuk tertelannya makanan dan mencegah terjadinya ulkus.
5.       Kesulitan bernafas dan tersedak.
Komplikasi ini berhubungan dengan proses menelan makanan, tertaannya makanan dan saspirasi makanan ke dalam trakea.
6.       Batuk kronis.
Batuk merupakan gejala yang umum setelah operasi perbaikan atresia esophagus, hal ini disebabkan kelemahan dari trakea.
7.       Meningkatnya infeksi saluran pernafasan.
Pencegahan keadaan ini adalah dengan mencegah kontakk dengan orang yang menderita flu, dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi vitamin dan suplemen.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA ESOPHAGUS
Pengkajian Keperawatan
  • Lakukan pengkajian bayi baru lahir
  • Observasi manifestasi atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus (FTE)
  • Bantu dengan prosedur diagnostik, misalnya radiografi dada dan abdomen; kateter dengan perlahan dimasukkan kedalam esofagus yang membentur tahanan bila lumen tersebut tersumbat.
  • Kaji tanda-tanda distres pernapasan.
  1. Diagnosa keperawatan: Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan lubang abnormal antara esophagus dan trakea atau obstruksi untuk menelan sekresi.
Tujuan: Pasien mempertahankan jalan napas yang paten tanpa aspirasi
Kriteria Hasil:
  • Jalan napas tetap paten
  • Bayi tidak teraspirasi sekresi
  • Pernapasan tetap pada batas normal
No Intervensi Rasional
1. Lakukan pengisapan sesuai dengan kebutuhan. Untuk menghilangkan penumpukan sekresi di orofaring.
2. Beri posis terlentang dengan kepala ditempatkan pada sandaran yang ditinggikan (sedikitnya 300). Untuk menurunkan tekanan pada rongga torakal dan meminimalkan refluks sekresi lambung ke esophagus distal dan ke dalam trakea dan bronki.
3. Beri oksigen jika bayi menjadi sianotik. Untuk membantu menghilangkan distress pernapasan.
4. Jangan gunakan tekanan positif (misalnya; kantong resusitasi/ masker). Karena dapat memasukkan udara ke dalam lambung dan usus, yang menimbulkan tekana tambahan pada rongga torakal.
5. Puasakan Untuk mencegah aspirasi.
6. Pertahankan penghisapan segmen esophagus secara intermitten atau kontinue, bila di pesankan pada masa pra operasi. Untuk menjaga agar kantong buntu tersebut tetap kosong.
7. Tinggalkan selang gastrostomi, bila ada, terbuka untuk drainase gravitasi. Agar udara dapat keluar, meminimalkan resiko regurgitasi isi lambung dengan trakea.
  1. Diagnosa keperawatan: Kerusakan (kesulitan) menelan berhubungan dengan obstruksi mekanis.
Tujuan: Pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat.
Kriteria Hasil: Bayi mendapat nutrisi yang cukup dan menunjukkan penambahan berat badan yang memuaskan.
No Intervensi Rasional
1. Beri makan melalui gastrostomi sesuai dengan ketentuan Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian makanan oral memungkinkan.
2. Lanjutkan pemberian makan oral sesuai ketentuan, sesuai kondisi bayi dan perbaikan pembedahan. Untuk memenuhi kebutuhan akan nutrisi bayi
3. Observasi dengan ketat. Untuk memastikan bayi mampu menelan tanpa tersedak.
4. Pntau masukan keluaran dan berat badan. Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutrisi.
5. Ajarkan keluarga tentang teknik pemberian makan yang tepat. Untuk mempersiapkan diri terhadap pemulangan.
  1. Diagnosa keperawatan: Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur pembedahan.
Tujuan: Pasien tidak mengalami trauma pada sisi pembedahan.
Kriteria Hasil: Anak tidak menunjukkan bukti-bukti cidera pada sisi pembedahan.
No Intervensi Rasional
1. Hisap hanya dengan kateter yang diukur sebelumnya sampai ke jarak yang tidak mencapai sisi pembedahan. Untuk mencegah trauma pada mukosa.
  1. Diagnosa keperawatan: Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan karena pembedahan.
Tujuan: Pasien mengalami rasa aman tanda ketidaknyamanan.
Kriteria Hasil:
  • Bayi istirahat dengan tenang, sadar bila terjaga, dan melakukan penghisapan  non- nutrisi.
  • Mulut tetap bersih dan lembab.
  • Nyeri yang dialamianak minimal atau tidak ada.
No Intervensi Rasional
1. Beri stimulasi taktil (mis; membelai, mengayun). Untuk memudahkan perkembangan optimal dan meningkatkan kenyamanan.
2. Beri perawatan mulut. Untuk menjaga agar mulut tetap bersih dan membran mukosa lembab.
3. Beri analgesik sesuai ketentuan
4. Dorong orangtua untuk berpastisipasi dalam perawatan anak. Untuk memberikan rasa nyaman dan aman.
  1. Diagnosa keperawatan :perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak dengan defek fisik.
Tujuan : pasien (keluarga) disiapkan untuk perawatan anak di rumah.
Kriteria hasil: Keluarga menunjukkan kemampuan untuk memberiakn perawatan pada bayi, memahami tanda-tanda komplikasi, dan tindakan yang tepat.
No. Intervensi Rasional
1. Ajarkan pada keluarga tentang keterampilan dan observasi kebutuhan perawat di rumah:
  • Beri posisi
  • Tanda-tanda distress pernapasan
  • Tanda-tanda komplikasi; menolak makan, disfagia, peningkatan batuk.
  • Kebutuhan alat dan bahan yang diperlukan
  • Perawatan gastrostomi bila bayi telah dioperasi, termasuk teknik-teknik seperti pengisapan, pemberian makan, perawatan sisi operasidan atau ostomi, dan penggantian balutan.
  • Untuk mencegah aspirasi
  • Untuk mencegah keterlam-batan tindakan
  • Agar praktisi dapat diberitahu
  • Untuk menjamin perawatan yang tepat setelah pulang.
BAB IV
PENUTUP
4.1     Kesimpulan
Atresia esofagus merupakan kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak menyambungnya esofagus bagian proksimal dengan esofagus bagian distal. Atresia esofagus dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus, yaitu kelainan kongenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esofagus dengan trakea.
Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya lubang atau muara (buntu), pada esofagus (+).
Atresia esofagus adalah kelainan kongenital dari traktus digestivus yang sudah dapat dideteksi pada sebelum kelahiran (prenatal)
Klasifikasi atresia esofagus
1) Atresia Esofagus dengan fistula trakheooesophageal distal ( 86% Vogt 111.grossC) 2) Atresia erofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal (2%Vogt III & Gross B). 3) Fistula trakheo esofagus tanpa atresia ( 4 %, Groos E)
4) Atresia Esofagus terisolasi tanpa fistula ( 7%, Vogg II, Gross A)
5) Atresia esofagus dengan fistula trakheo esofagus distal dan proksimal (< 1% Vogt   IIIa, Gross D).
DAFTAR PUSTAKA
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta.
Sacharin, Rosa M.1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. EGC: Jakata.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatn Pediatrik. EGC: Jakarta.
F:\Bhn Atresia Esophagus\Atresia_Esofagus.html
F:\Bhn Atresia Esophagus\aa1.htm
F:\Bhan Atresia Esophagus\imgres_files\esophageal-atresia.htm
F:\Bhan Atresia Esophagus\Referat Atresia Esofagus « Asteriondoctor’s Blog.htm
skip to main | skip to sidebar http://febrikustiyanto.blogspot.com/2009/04/atresia-esofagus-atresia-esofagus.html